Ad Section

Selamat Datang di Media Online Kampung Dames, Medianya Untuk Berkreasi dan Literasi

Tradisi Merariq Adat Lombok

Upacara pernikahan merupakan satu siklus hidup yang kaya akan makna dan biasa dirayakan oleh hampir seluruh umat manusia, tak terkecuali juga di wilayah-wilayah Nusantara. Pun begitu dengan proses-proses menjelang berlangsungnya upacara akad nikah itu sendiri. Adakalanya, untuk beberapa kebudayaan, terutama di wilayah Nusantara, proses menuju terlaksananya sebuah perkawinan tidaklah sedatar yang dibayangkan, melainkan harus melewati beberapa tahapan yang begitu rumit namun sarat akan makna filosofis berdasarkan kearifan lokal dari daerah masing-masing.
Salah satu adat menjelang berlangsungnya prosesi pernikahan yang sangat unik dan sarat akan makna adalah adat yang terdapat dalam budaya suku Sasak. Dalam budaya suku sasak, pernikahan dilaksanakan dengan cara menculik si calon istri oleh calon suami yang disebut dengan istilah kawin culik. Tapi tentu, penculikan calon istri oleh calon suami ini dilakukan berdasarkan aturan main yang yang telah disepakati bersama melalui lembaga adat. Mungkin inilah satu-satunya penculikan di dunia yang dilegalkan dan harus patuh pada aturan main.     
Kawin culik ini akan berlangsung setelah si gadis memilih satu di antara kekasih-kekasihnya. Mereka akan membuat suatu kesepakatan kapan penculikan bisa dilakukan. Perjanjian atau kesepakatan antara seorang gadis sebagai calon istri oleh penculiknya ini harus benar-benar dirahasiakan, untuk menjaga kemungkinan gagal ditengah jalannya aksi penculikan tersebab oleh hal-hal seperti dijegal oleh laki-laki lain yang juga memiliki hasrat untuk menyunting sang gadis. Hal ini dilakukan misalnya dengan jalan merampas anak gadis ketika ia bersama san calon suaminya dalam perjalanan menuju rumah calon suaminya. Ini pula sebabnya, penculikan pada siang hari dilarang keras oleh adat karena dikhawatirkan penculikan pada siang hari akan mudah diketahui oleh orang banyak termasuk juga rival-rival dari sang penculik yang juga menghasratkan sang gadis untuk menjadi istrinya. Disamping merupakan rahasia untuk para kekasih sang dara, penculikan ini pun harus dirahasiakan dan jangan sampai bocor ke telinga orang tua sang gadis. Kalau saja kemudian setelah mengetahui orang tuanya tidak setujui anaknya untuk menikah, di sini orang tua baru boleh bertindak untuk menjodohkan anak gadisnya dengan pilihan mereka. Keadaan ini yang disebut Pedait.
Meskipun pada kenyatannya orang tua boleh untuk tidak bersetuju dengan  calon menantunya (yang dalam hal ini lelaki yang menculik anak gadisnya) tapi, untuk basa-basi sekaligus menghormati perasaan orang tua sang lelaki, perasaan tersebut sama sekali tak boleh ditunjukan pada saat acara midang. Maka dari itu, demi menghindari penculikan oleh lelaki yang bukan merupakan calon menantu yang dikehendaki, begitu mendengar selentingan kabar akan adanya penculikan, maka biasanya sang gadis dilarikan ke tempat famili calon suami yang jauh dari desa atau dasan si gadis atau dasan si calon suaminya.
Dan karena penculikan anak gadis oleh lelaki yang akan menyuntingnya adalah satu-satunya perbuatan penculikan yang diperbolehkan adat, maka tentu perbuatan ini pun mempunyai aturan permainan yang telah di atur oleh adat. Keributan yang terjadi karena penculikan sang gadis di luar ketentuan adat, kepada penculiknya dikenakan sangsi sebagai berikut :
Denda Pati 
Denda Pati adalah denda adat yang harus ditanggung oleh sang penculik atau keluarga sang penculik apabila penculikan tersebut berhasil tapi menimbulkan keributan dalam prosesnya.
Ngurayang
Ngurayang adalah denda adat yang dikenakan pada penculik gadis yang menimbulkan keributan karena penculikn tidak dengan persetujuan sang gadis. Karena sang gadis tidak setuju dan sang penculik memaksa maka biasanya penculikan ini gagal.
Ngeberayang
Ngeberayang adalah denda adat yang harus dibayar oleh sang penculik atau keluarganya dikarenakan proses penculikan terjadi kegagalan dan terjadi keributan karena beberapa hal seperti penculikan digagalkan oleh rival sang penculik, dan sebagainya.
Ngabesaken
Ngabesaken adalah denda adat yang dikenakan kepada penculik karena penculikan dilakukan pada siang hari yang pada akhirnya terjadi keributan.
Denda adat yang harus dibayar tersebut apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran seperti yang telah dikemukakan di atas adalah dalam bentuk uang dengan nominal tertentu dan telah diatur oleh adat. Selanjutnya uang denda yang dibayar oleh penculik yang gagal itu akan diserahkan kepada kampung melalui ketua kerame yang kemudian diteruskan kepada kepala kampung untuk kesejahteraan kampung.   
Bilamana seorang gadis berhasil diculik, maka pada malam itu juga dilanjutkan dengan acara mangan merangkat, yaitu suatu upacara adat yang menyambut kedatangan si gadis di rumah calon suaminya. Hal ini merupakan upacara peresmian masuknya di gadis dalam keluarga calon suaminya. Dalam mangan merangkat ini adalah semacam penyambutan dan perkenalan untuk sang gadis terhadap keluarga calon suaminya. Acara mangan merangkat ini iawali dengan totok telok yaitu calon mempelai memecahkan telur bersama-sama pada perangkat (sesajen) yang telah disediakan. Totok telok adalah lambang kesanggupan calon mempelai untuk hidup dengan istrinya dalam bahtera rumah tangga.
Baru kemudian pada pagi harinya, keluarga calon suami sang gadis (dalam hal ini yang telah menculiknya) akan mendatangi rumah orang tua sang gadis untuk memberitahukan bahwa anak gadisnya dipersunting oleh anaknya. Peristiwa datangnya keluarga sang lelaki ini disebut dengan Masejatik atau Nyelabar. Tujuan utama dari Masejatik adalah media perundingan guna membicarakan kelajutan upacara-upacara adat perkawinan serta segala sesuatu yang dibutuhkan dalam perkawinan. Dalam hal ini yang pertama-tama harus diselesaikan adalah acara akad nikah. Pada waktu akad nikah tersebut orang tua si gadis memberikan kesaksian di hadapan penghulu desa dan pemuka-pemuka masyarakat serta para tokoh adat lainnya. Dalam acara ini bilamana orang tua si gadis berhalangan, ia dapat menunjuk seseorang untuk mewakilinya.
Dan acara ini berpuncak pada adat perkawinan yang disebut dengan sorong doe, yakni saat di mana rumah kediaman orang tua si gadis akan kedatangan rombongan dari keluarga mempelai lelaki. Kedatangan rombongan sorong doe ini disebut nyongkol. Acara inti dari sorong doe adalah tentang pengajuan dana yang diminta oleh orang tua sang gadis untuk menyambut para penyongkol yang disebut dengan kepeng tagih (uang tagihan). Uang tagih lainnya juga berupa kepeng pelengkak yaitu uang tagih dari kakak laki-laki mempelai wanita yang belum menikah, sedangkan kalau ada uang kakak permpuan perempuan mempelai wanita yang belum menikah tidak ada uang tagihannya.