Pulau Lombok merupakan kampung
halaman Suku Sasak, terletak di sebelah timur Pulau Bali, dipisahkan
oleh Selat Lombok. Di sebelah barat Pulau ini berbatasan dengan Selat
Atas yang memisahkan pulau ini dengan Pulau Sumbawa. Luas wilayah pulau
yang termasuk ke dalam Provinsi Nusa Tenggara Barat ini kurang lebih
5435 km2. Pulau Lombok secara administratif terdiri dari lima
Kabupaten dan Kota yakni Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok
Utara, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Tengah, dan Kota
Mataram. Kurang lebih ada sekitar 3 juta jiwa yang mendiami pulau
lombok, 80% di antaranya adalah Suku Sasak.
Suku
Sasak telah menghuni Pulau Lombok selama berabad-abad, Mereka telah
menghuni wilayahnya sejak 4.000 Sebelum Masehi. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa orang Sasak berasal dari percampuran antara penduduk
asli Lombok dengan para pendatang dari Jawa. Ada juga yang menyatakan
leluhur orang sasak adalah orang Jawa.
Menurut Goris S., “Sasak” secara etimologi, berasal dari kata “sah” yang berarti “pergi” dan “shaka” yang berarti “leluhur”. Dengan begitu Goris menyimpulkan bahwa sasak
memiliki arti “pergi ke tanah leluhur”. Dari pengertian inilah diduga
bahwa leluhur orang Sasak itu adalah orang Jawa. Bukti lainnya merujuk
kepada aksara Sasak yang digunakan oleh orang Sasak disebut sebagai “Jejawan”,
merupakan aksara yang berasal dari tanah Jawa, pada perkembangannya,
aksara ini diresepsi dengan baik oleh para pujangga yang telah
melahirkan tradisi kesusasteraan Sasak.
Etimologi: (Linguistik); cabang dari ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul serta perubahan kata dalam bentuk dan makna.Pendapat lain menyoal etimologi Sasak beranggapan bahwa kata itu berasal dari kata sak-sak yang dalam
bahasa sasak berarti sampan. Pengertian ini dihubungkan dengan
kedatangan nenek moyang orang Sasak dengan menggunakan sampan dari arah
barat. Sumber lain yang sering dihubungkan dengan etimologi Sasak adalah
kitab Nagarakertagama yang memuat catatan kekuasaan Majapahit abad
ke-14, ditulis oleh Mpu Prapanca.
Dalam kitab Nagarakertagama terdapat ungkapan “lombok sasak mirah adi” yang kurang lebih dapat diartikan sebagai “kejujuran adalah permata yang utama”. Pemaknaan ini merujuk kepada kata sasak (sa-sak) yang diartikan sebagai satu atau utama; Lombok (Lomboq) dari bahasa kawi yang dapat diartikan sebagai jujur atau lurus; mirah diartikan sebagai permata dan adi bermakna baik.
Sejarah, Pengaruh, dan Kekuasaan
Sejarah
Lombok sepertinya tidak dapat dipisahkan dari silih bergantinya
kekuasaan dan peperangan pada masa itu. Baik itu peperangan antar
kerajaan di Lombok sendiri, maupun peperangan yang ditimbulkan oleh
perluasan kekuasaan dari wilayah lain.
Konon, pada masa
pemerintahan Raja Rakai Pikatan di Medang (Mataram Kuno), telah banyak
pendatang dari Pulau Jawa ke Pulau Lombok. Banyak diantara mereka
kemudian melakukan pernikahan dengan warga setempat sehingga
keturunan-keturunan selanjutnya dikenal sebagai suku sasak. Selanjutnya,
dalam catatan sejarah abad ke-14-15 Masehi, Pulau Lombok ini kemudian
berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit. Bahkan kabarnya
Maha Patih Gajah Mada sendiri yang waktu itu datang ke Pulau Lombok
untuk menundukan beberapa kerajaan yang ada di Pulau itu.
Melemahnya
pengaruh Majapahit membuka jalan bagi perkembangan Islam ke daerah
Lombok. Islam mungkin sudah sampai di Pulau lombok jauh sebelumnya, tapi
penyebaran yang signifikan muncul karena bantuan para wali beserta
kekuasaan Islam di tanah Jawa dan wilayah Makassar. Selama kurun waktu
abad ke-16-17 Islam bahkan telah berhasil menguasai Kerajaan Selaparang,
salah satu kerajaan yang cukup kuat di Pulau Lombok. Islam kemudian
menyebar di Lombok, meski masih tetap tercampur dengan kebudayaan lokal.
Kerajaan
Bali yang selalu berusaha menjadikan wilayah Lombok menjadi
kekuasaannya, berhasil menduduki Lombok Barat sekitar akhir abad ke-I7
Masehi, kemudian melebarkan kekuasaannya terhadap hampir seluruh wilayah
Lombok setelah berhasil menaklukan Selaprang dan memukul mundur
pengaruh Makassar.
Belanda yang saat itu telah menguasai Sumbawa
dibukakan jalan oleh bangsawan Sasak untuk berkuasa di Lombok. Konon
Kabarnya para bangsawan sasak meminta campur tangan dari militer Belanda
agar memerangi dinasti Bali di Lombok. Ketika akhirnya Belanda berhasil
mengambil penguasaan Lombok dari Kerajaan Bali, alih-alih mengembalikan
Lombok kepada para bangsawan Sasak, mereka justru menjadi penjajah baru
di wilayah itu. Menurut Kraan (1976) menyebutkan bahwa Belanda telah
berhasil mengambil wilayah yang sebelumnya berada di bawah Kerajaan
Bali, dan memberlakukan pajak yang sangat tinggi pada penduduknya.
Antara
Jawa-Bali-Lombok memang mempunyai beberapa kesamaan budaya, selain
karena faktor perluasan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang silih berganti,
kedekatan wilayah yang memungkinkan penduduknya dengan mudah berpindah
dan terjadi akulturasi budayanya.
Bahasa
Etnologi:
Cabang dari antropologi, yang mempelajari berbagai suku bangsa beserta
aspek kebudayaannya, dan hubungan antara satu bangsa dengan bangsa
lainnya. Etnis: Suku bangsa. Etnolog: Adalah orang yang ahli etnologi.Bahasa
Sasak, terutama yang berkenaan dengan sistem aksaranya, memiliki
kedekatan dengan sistem aksara Jawa-Bali, sama-sama menggunakan aksara
Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Kendati demikian, secara pelafalan, bahasa Sasak
ternyata lebih memiliki kedekatan dengan bahasa Bali. Menurut penelitian
para etnolog yang mengumpulkan hampir semua bahasa di dunia,
menggolongkan bahasa Sasak kedalam rumbun bahasa Austronesia
Malayu-Polinesian, Juga ada kesamaan ciri dengan rumpun bahasa
Sunda-Sulawesi, dan Bali-Sasak.
Bahasa Sasak yang digunakan di
Lombok secara dialek dan lingkup kosakatanya dapat digolongkan kedalam
beberapa bahasa sesuai dengan wilayah penuturnya; Mriak-Mriku (Lombok Selatan), Meno-Mene dan Ngeno-Ngene (Lombok Tengah), Ngeto-Ngete (Lombok Tenggara), dan Kuto-Kute (Lombok Utara).
Struktur dan Sistem Masyarakat
Suku
Sasak pada masa lalu secara sosial-politik, digolongkan dalam dua
tingkatan sosial utama, yaitu golongan bangsawan yang disebut perwangsa dan bangsa Ama atau jajar karang sebagai golongan masyarakat kebanyakan.
Golongan perwangsa ini terbagi lagi atas dua tingkatan, yaitu bangsawan tingi (perwangsa) sebagai penguasa dan bangsawan rendahan (triwangsa). Bangsawan penguasa (perwangsa) umumnya menggunakan gelar datu. Selain itu mereka juga disebut Raden untuk kaum laki-laki dan Denda untuk perempuan. Seorang Raden jika menjadi penguasa maka berhak memakai gelar datu. Perubahan gelar dan pengangkatan seorang bangsawan penguasa itu umumnya dilakukan melalui serangkaian upacara kerajaan.
Bangsawan rendahan (triwangsa) biasanya menggunakan gelar lalu untuk para lelakinya dan baiq untuk kaum perempuan. Tingkatan terakhir disebut jajar karang atau masyarakat biasa.Panggilan untuk kaum laki-laki di masyarakat umum ini adalah loq dan untuk perempuan adalah le.
Golongan bangsawan baik perwangsa dan triwangsa disebut sebagai permenak. Para permenak
ini biasanya menguasai sejumlah sumber daya dan juga tanah. Ketika
Kerajaan Bali dinasti Karangasem berkuasa di Pulau Lombok, mereka yang
disebut permenak kehilangan haknya dan hanya menduduki jabatan pembekel (pejabat pembantu kerajaan).
Masyarakat Sasak sangat menghormati golongan permenak
baik berdasarkan ikatan tradisi dan atau berdasarkan ikatan kerajaan.
Di sejumlah desa, seperti wilayah Praya dan Sakra, terdapat hak tanah perdikan (wilayah pemberian kerajaan yang bebas dari kewajiban pajak). Setiap penduduk mempunyai kewajiban apati getih,
yaitu kewajiban untuk membela wilayahnya dan ikut serta dalam
peperangan. Kepada mereka yang berjasa, Kerajaan akan memberikan
beberapa imbalan, salah satunya adalah dijadikan wilayah perdikan.
Landasan
sistem sosial masyarakat dalam kehidupan suku Sasak umumnya mengikuti
garis keturunan dari pihak laki-laki (patrilineal). Akan tetapi, dalam
beberapa kasus hubungan masyarakatnnya terkesan bilateral atau parental (garis keturunan diperhitungkan dari kedua belah pihak; ayah dan ibu).
Pola kekerabatan yang dalam tradisi suku sasak disebut Wiring Kadang
ini mengatur hak dan kewajiban anggota masyarakatnya. Unsur-unsur
kekerabatan ini meliputi Kakek, Ayah, Paman (saudara laki-laki ayah),
Sepupu (anak lelaki saudara lelaki ayah), dan anak-anak mereka.
Wiring Kadang juga mengatur
tanggung jawab mereka terhadap masalah-masalah keluarga; pernikahan,
masalah warisan dan hak-kewajiban mereka. Harta warisan disebut pustaka
dapat berbentuk tanah, rumah, dan juga benda-benda lainnya yang
merupakan peninggalan leluhur. Orang-orang Bali memiliki pola
kekerabatan yang hampir sama disebut purusa dengan harta waris yang disebut pusaka.
Kepercayaan
Boda adalah nama dari kepercayaan asli Suku Sasak, beberapa menyebutnya Sasak Boda. Walapun ada kesamaan pelafalan dengan Buddha, Boda tidak memiliki kesamaan dan hubungan dengan Buddhisme. Orang Sasak yang menganut kepercayaan Boda tidak mengenal dan mengakui Sidharta Gautama (Sang Buddha) sebagai figur utama. Agama Boda orang Sasak ini justru ditandai dengan penyembahan roh-roh leluhur mereka sendiri dan juga percaya terhadap berbagai.
Kerajaan
Majapahit masuk ke Lombok dan membawa serta budayanya. Hindu-Buddha
Majapahit pun kemudian dikenal oleh Suku Sasak. Di akhir abad ke 16
hingga abad ke 17 awal perkembangan agama Islam menyentuh pulau Lombok.
Salah satunya karena peran Sunan Giri. Setelah perkembangan Islam,
kepercayaan Suku Sasak sebagian berubah dari Hindu menjadi penganut
Islam.
Berdasarkan sistem kepercayaan Suku Sasak pada masa-masa selanjutnya, kemudian dapat diklasifikasikan tiga kelompok utama; Boda, Wetu Telu, dan Islam (Wetu Lima).
Penganut
Boda sebagai komunitas kecil yang berdiam di wilayah pegunungan utara
dan di lembah-lembah pegunungan Lombok bagian selatan. Kelompok Boda ini
konon adalah orang-orang Sasak yang dari segi kesukuan, budaya, dan
bahasa menganut kepercayaan asli. Mereka menyingkir ke daerah pegunungan
melepaskan diri dari islamisasi di Lombok.
Sedangkan Agama Wetu telu
awalnya memiliki ciri sama dengan Hindu-Bali dan Kejawen. Di antara
unsur-unsur umum, peran leluhur begitu menonjol. Hal itu didasarkan pada
pandangan yang berakar pada kepercayaan tentang kehidupan senantiasa
mengalir.
Pada perkembangannya Wetu telu
justru lebih dekat dengan Islam. Konon, sekarang hampir semua desa suku
Sasak sudah menganut Agama Islam lima waktu dan meninggalkan Wetu telu sepenuhnya. Sementara sinkretisme Islam-Wetu telu
kini berkembang terbatas di beberapa bagian utara dan selatan Pulau
Lombok. Meliputi Bayan, dataran tinggi Sembalun, Suranadi di Lombok
Timur, Pujut di Lombok Tengah, dan Tanjung di Lombok Barat.
Istilah Islam-Wetu Telu
diberikan karena penganut kepercayaan ini beribadah tiga kali di bulan
puasa, yaitu waktu Magrib, Isya, dan waktu Subuh. Di luar bulan puasa,
mereka hanya satu hari dalam seminggu melakukan ibadah, yaitu pada hari
Kamis dan atau Jumat, meliputi waktu Asar. Untuk urusan ibadah lainnya
biasanya dilakukan oleh pemimpin agama mereka; para kiai dan penghulu.
Para penganut Islam-Wetu telu
membangun Masjid (tempat ibadah) mereka dengan gaya arsitektur khas
Suku Sasak; dari kayu dan bambu, dengan bagian atapnya terbuat dari
jenis alang-alang atau sirap dari bambu.
Dengan denah berbentuk
persegi empat dan bagian atap seperti piramid bertumpang yang disangga
dengan tiang-tiang, beberapa ahli menilai arsitektur masjid ini mirip
dengan Arsitektur masjid lama di Ternate dan Tidore.
Tata Ruang dan Arsitektur Suku Sasak
Rumah-rumah
suku Sasak berbeda dengan arsitektur Bali pada umumnya. Di dataran,
perkampungan suku Sasak cenderung luas dan melintang. Desa-desa Suku
Sasak di wilayah pegunungan tertata rapi mengikuti perencanaan yang
pasti. Di Lombok bagian utara, biasanya perkampungan Suku Sasak terdapat
dua baris rumah tipe bale, dengan sederet lumbung padinya di satu sisi yang lain. Bangunan lain yang menjadi ciri khas perkampungan orang Sasak adalah rumah besar (bale bele).
Di antara deretan rumah-rumah itu dibangun balai yang bersisi terbuka (beruga)
sebagai tempat pertemuan. Balai terbuka menyediakan panggung untuk
kegiatan sehari-hari dalam fungsi hubungan sosial masyarakat. Balai ini
juga digunakan untuk urusan keagamaan misalnya upacara penghormatan
jenazah sebelum dikuburkan. Sementara makam leluhur yang terdiri dari
rumah-rumah kayu dan bambu kecil dibangun di wilayah bagian atas dari
perkampungan.
Sedikitnya
ada empat jenis dasar lumbung dengan ukuran yang berbeda-beda. Semua
lumbung, kecuali jenis lumbung padi yang berukuran kecil, memiliki
panggung di bawah.
Di desa-desa Lombok bagian selatan, panggung yang berada di bagian bawah lumbung padi berperan sebagai balai. Di Lombok bagian utara, tidak semua desa memiliki lumbung padi.
Lumbung
padi menjadi ciri khas yang sangat menarik dalam arsitektur suku Sasak.
Bangunan Lumbung itu didirikan pada tiang-tiang dengan cara dan ciri
khas yang mirip bangunan-bangunan Austronesia.
Bangunan ini
memiliki atap berbentuk “topi” yang ditutup ilalang. Empat tiang besar
menyangga tiang-tiang melintang di bagian atas tempat kerangka utama
dibangun. Bagian atas penopang kayu kemudian menguatkan rangka-rangka
bambunya yang semua bagiannya ditutupi ilalang. Satu-satunya yang
dibiarkan terbuka adalah sebuah lubang persegi kecil yang terletak
tinggi di bagian ujung berfungsi untuk menaruh padi hasil panen. Untuk
mencegah hewan pengerat masuk. Piringan kayu besar yang mereka sebut jelepreng, disusun di bagian atas puncak tiang dasarnya.
Rumah
tradisional Suku Sasak berdenah persegi, tidak berjendela dan hanya
memiliki satu pintu dengan pintu ganda yang telah diukir halus. Di
bagian dalam, tidak terdapat tiang-tiang penyangga atap. Bubungan
atapnya curam, terbuat dari jerami yang memiliki ketebalan kurang lebih
15 centimeter. Atap itu sengaja dibiarkan menganjur ke bagian dinding
dasar yang hampir menutupi bagian dinding. Dinding terdiri dari dua
bagian, bagian tengah yang menyatu dengan atap dibuat dari bambu, bagian
bawah dibuat dari campuran lumpur, dan jerami yang permukaannya telah
dipelitur halus.
Rumah
digunakan terutama untuk tempat tidur dan memasak. Masyarakat Sasak
jarang menghabiskan waktu di dalam rumah sepanjang hari. Di sisi sebelah
kiri dibagi untuk tempat tidur anggota keluarga, juga terdapat rak di
langit-langitnya untuk menyimpan pusaka dan benda berharga. Anak
laki-laki tidur di panggung bawah bagian luar; anak perempuan tidur di
atas bagian dalam panggung.
Untuk kegiatan memasak, bagian dalam
rumah berisi tungku yang berada di sisi sebelah kanan yang dilengkapi
rak-rak untuk menyimpan dan mengeringkan jagung. Kayu bakar disimpan di
belakang rumah, kadang juga disimpan di bawah panggung.
Tradisi dan Seni
Dari
sejarahnya yang panjang, Suku Sasak bisa saja diidentifikasikan sebagai
budaya yang banyak mendapat pengaruh dari Jawa dan Bali. Pun sejarah
mencatatnya demikian, kenyataannya kebudayaan Suku Sasak memiliki corak
dan ciri budaya yang khas, asli dan sangat mapan hingga berbeda dengan
budaya suku-suku lainnya di Nusantara. Kini, Sasak bahkan dikenal bukan
hanya sebagai kelompok masyarakat tapi juga merupakan entitas budaya
yang melambangkan kekayaan tradisi Bangsa Indonesia di mata dunia.
Berikut beberapa seni dan tradisi yang cukup terkenal dari suku Sasak:
Bau Nyale. Nyale adalah sejenis binatang laut, termasuk jenis cacing (anelida) yang berkembang biak dengan bertelur. Dalam alam kepercaan Suku Sasak, Nyale bukan sekedar binatang, beberapa legenda dari Suku ini yang menceritakan tentang putri yang menjelma menjadi Nyale. Lainnya menyatakan bahwa Nyale adalah binatang anugerah, bahkan keberadaannya dihubungkan dengan kesuburan dan keselamatan.
Ritual
Bau Nyale atau menangkap nyale digelar setahun sekali. Biasanya pada
tanggal 19 atau 20 pada bulan ke-10 atau ke-11 menurut perhitungan tahun
suku Sasak, kurang lebih berkisar antara bulan Februari atau Maret.
Rebo Bontong. Suku Sasak percaya bahwa hari Rebo Bontong merupakan hari puncak terjadi bencana dan atau penyakit (Bala) sehingga bagi mereka sesuatu yang tabu jika memulai pekerjaan tepat pada hari Rebo Bontong. Kata Rebo dan juga Bontong kurang lebih artinya “putus” atau “pemutus”.
Upacara Rebo Bontong
dimaksudkan untuk dapat menghindari bencana atau penyakit. Upacara ini
digelar setahun sekali yaitu pada hari Rabu di minggu terakhir bulan
Safar dalam kalender Hijriah.
Bebubus Batu. Dari kata “bubus”, yaitu sejenis ramuan obat berbahan dasar beras yang dicampur berbagai jenis tanaman, dan dari kata batu yang merujuk kepada batu tempat melaksanakan upacara. Bebubus Batu
adalah upacara yang digelar untuk meminta berkah kepada sang Kuasa.
Upacara ini dilaksanakan tiap tahun, dipimpin oleh Penghulu (pemangku
adat) dan Kiai (ahli agama). Masyarakat ramai-ramai mengenakan pakaian
adat serta membawa dulang, sesajen dari hasil bumi.
Sabuk Beleq Merujuk kepada sebuah pustaka sabuk yang besar (Beleq)
bahkan panjangnya mencapai 25 meter, masyarakat Lombok khususnya mereka
yang berada di wilayah Lenek Daya akan menggelar upacara pada tanggal
12 Rabiul Awal tahun Hijriah. Tradisi pengeluaran Sabuk Bleeq ini mereka awali dengan mengusung Sabuk Beleq mengelilingi kampung diiringi dengan tetabuhan gendang beleq. Ritual upacara kemudian dilanjutkan dengan menggelar praja mulud
hingga diakhiri dengan memberi makan berbagai jenis makhluk. Upacara
ini dilakukan untuk mempererat ikatan persaudaraan, persatuan dan gotong
royong antar masyarakat, serta cinta kasih di antara makhluk Tuhan.
Lomba Memaos. Memaos kurang lebih artinya membaca dan orang yang membaca di sebut pepaos.
Lomba memaos adalah lomba untuk membaca lontar yang menceritakan
hikayat dari leluhur mereka. Tujuan lomba pembacaan cerita ini adalah
agar generasi selanjutnya dapat mengetahui kebudayaan dan sejarah masa
lalu. Selain itu, Lomba ini juga dapat berfungsi sebagai regenerasi
nilai-nilai sosia, budaya, dan tradisi pada generasi penerus. Satu
kelompok pepaos biasanya terdiri dari 3-4 orang; pembaca, pejangga, dan pendukung vokal.
Tandang Mendet. Tandang Mendet
adalah tarian perang Suku Sasak. Konon Tarian ini telah ada sejak zaman
Kerajaan Selaparang. Tarian yang menggambarkan keperkasaan dan
perjuangan ini dimainkan oleh belasan orang dengan berpakaian dan
membawa alat-alat keprajuritan lenggap; kelewang (pedang), tameng,
tombak. Tarian diiringi dengan hentakan gendang beleq serta pembacaan syair-syair perjuangan.
Peresean. Kadang ada yang menulisnya Periseian dan atau Presean adalah seni bela diri yang dulu digunakan oleh lingkungan kerajaan. Peresean
awalnya adalah latihan pedang dan perisai bagi seorang prajurit. Pada
perkembangannya, latihan ini menjadi pertunjukan rakyat untuk menguji
ketangkasan dan “keberanian”.
Senjata yang digunakan adalah sebilah rotan yang dilapisi pecahan kaca. Dan untuk menangkis serangan, pepadu (pemain) biasanya membawa sebuah perisai (ende) yan terbuat dari kayu berlapis kulit lembu atau kerbau. Setiap pepadu memakai ikat kepala dan mengenakan kain panjang.
Festival peresean diadakan setiap tahun terutama di Kabupaten Lombok Timur yang akan diikuti oleh pepadu dari seluruh Pulau Lombok.
Begasingan.
Permainan rakyat yang mempunyai unsur seni dan olahraga, bahkan
termasuk permainan tradisional yang tergolong tua di masyarakat Sasak.
Permainan tradisional ini juga dikenal di beberapa wilayah lain di
Indonesia. Hanya saja, Gasing orang sasak ini berbeda baik bentuk maupun
aturan permainannya. Gasing besar, mereka namai pemantok, digunakan untuk menghantam gasing pengorong atau pelepas yang ukurannya lebih kecil.
Begasingan berasal dari kata gang yang artinya “lokasi”, dan dari kata sing artinya “suara”. Permainan tradisional ini tak mengenal umur dan tempat, bisa siapa saja, bisa di mana saja.
Slober. Alat
musik tradisional Lombok yang cukup tua, unik, dan bersahaja. Slober
dibuat dari pelepah enau dan ketika dimainkan alat musik ini biasanya
didukung dengan alat musik lainnya seperti gendang, gambus, seruling,
dll. Kesenian yang masih dapat anda saksikan hingga saat ini, sangat
asyik jika dimainkan ketika malam bulan purnama.
Gendang Beleq. Satu dari kesenian Lombok yang mendunia. Gendang Beleq merupakan pertunjukan dengan alat perkusi gendang berukuran besar (Beleq)
sebagai ensembel utamanya. Komposisi musiknya dapat dimainkan dengan
posisi duduk, berdiri, dan berjalan untuk mengarak iring-iringan.
Ada dua jenis gendang beleq yang berfungsi sebagai pembawa dinamika yaitu gendang laki-laki atau gendang mama dan gendang nina atau gendang perempuan).
Sebagai pembawa melodi adalah gendang kodeq atau gendang kecil. Sedangkan sebagai alat ritmis adalah dua buah reog, 6-8 buah perembak kodeq, sebuah petuk, sebuah gong besar, sebuah gong penyentak , sebuah gong oncer, dan dua buah lelontek. Menurut cerita, gendang beleq dahulu
dimainkan bila ada pesta-pesta yang diselenggarakan oleh pihak
kerajaan. Bila terjadi perang gendang ini berfungsi sebagai penyemangat
prajurit yang ikut berperang.