Gambar manipulasi |
Munculnya suatu konflik di Kabupaten Luwu Timur disebabkan oleh adanya penyerobotan hutan oleh masyarakat yang di mana hutan tersebut sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan lindung. Namun, adanya keberatan dari masyarakat menuntut agar pemerintah memberikan kebebasan atas tanah yang digarap sekian lama jika dilihat dari sejarahnya di mana masyarakatlah yang pertama kali menggarap lahan tersebut sebelum ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan lindung dan hutan produksi.
Awal mula pada tahun 1800, kawasan hutan matompi sudah digarap oleh masyarakat sekitar kawasan tersebut yang berada di belakang kampung matompi. Kegiatan pemanfaatan hutan berlangsung terus sampai diwariskan kepada anaknya. Namun sistem kepemilikan lahan hanya dikuasai tanpa adanya bukti kepemilikan tapi diakui oleh seluruh warga masyarakat. Pada tahun 1950, terjadi pemberontakan oleh gerombolan DII/TII yang memaksa masyarakat mengungsi ke tempat yang aman sekitar danau towuti. Setelah pemberontakan DI/TII berhasil dilumpuhkan, masyarakat kembali ke dusun matompi dengan areal pemukiman dan lahan pertanian yang baru.
Namun, seiring dengan penetapan lahan sebagai kawasan hutan lindung, maka masyarakat yang mengolah lahan tersebut tersisa sekitar 10 KK saja. Masyarakat yang memutuskan tetap bertahan karena alasan, tanah itu sudah menjadi hak milik warisan dari leluhur mereka. Dan juga lahan yang mereka kelola sekarang adalah lahan satu-satunya untuk menggantungkan hidupnya, sehingga adanya ketergantungan tersebut yang akan berpotensi menyebankan konflik nantinya.
Pada tanggal 25 September tahun 2005 setelah zaman Reformasi, seiring bertambahnya jumlah penduduk, masyarakat mulai meninggalkan matompi dan beralih ke Tanah One. Selain masyarakat matompi, masyarakat pendatang juga ikut beramai-ramai menduduki dan menggarap daerah tersebut. Berpindahnya masyarakat dari matompi ke Tanah one didasarkan oleh berbagai macam alas an dari masyarakat, ada yang beralasan mencari tanah warisan nenek moyang nya dahulu yang hilang, ada pula yang beralasan mencari hidup yang lebih baik. Sistem pembagian lahan pada Tanah One dilakukan dengan “sistem arisan” dimana orang yang memenangkan lot berhak atas tanah yang diinginkannya. Kemudian batas maksimal lahan yang dikelola seluas 1-2 ha diluar lahan pemukiman seluas 600 m².
Pada tahun 1992 Kawasan Hutan One yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung oleh pemerintah dijadikan sebagai hutan poduksi terbatas dengan Hak Guna Usaha (HGU), dimana pada saat itu yang diberi HGU adalah Andi Hasan, salah satu aparat pemerintah kabupaten. Masyarakat yang merasa memiliki hak kuasa atas lahan nenek moyang sebagai tanah warisan merasa keberatan dengan adanya keputusan tersebut. Masyarakat mengklaim luas lahan mereka sebesar 200 ha, dan sampai sekarang hutan yang belum digarap sebesar 50 ha. Klaim tersebut yang berdampak pada konflik yang belum terselesaikan sampai sekarang.
Konflik masyarakat terbagi menjadi dua yakni konflik Horizontal terjadi antara individu yang masih bersaudara atau masih memiliki hubungan keluarga. Di mana konflik ini berupa perebutan sawah dan tanah garapan yang satu sama lain saling mengklaim hak pengelolaan tanah di suatu lahan. Hal ini terjadi karena status tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan lahan atau yang dikenal dengan istilah “ongko”, sehingga menimbulkan perbedaan prinsip salah satu pihak yang berkonflik. Di satu sisi pihak pertama merasa memiliki hak atas tanah warisan orang tua, sedangkan sisi lain pihak kedua merasa memiliki hak atas lahan tersebut telah lama dikelolanya.
Yang kedua adalah Konflik vertikal yang terjadi antara masyarakat dan pemerintahan, yang disebabkan oleh keputusan pemerintah yang tidak bisa diterima oleh masyarakat seperti yang terjadi di Desa Pekaloa, khususnya Tanah One. Di mana konflik tersebut bersumber dari penetapan kawasan hutan menjadi hutan produksi dan pada tahun 2005 masyarakat merasa keberatan dengan hadirnya seorang aparat pemerintah yakni Andi Hasan sebagai pihak yang berhak atas Hak Guna Usaha atas lahan tersebut. Andi Hasan sebagai pemilik lahan seringkali melalui jalur diplomasi sampai dengan tindakan pemaksaan kepada masyarakat untuk keluar dari lahan hutan. Namun hal itu tidak digubris oleh masyarakat, bahkan masyarakat sampai bersikukuh untuk tetap tinggal dalam suatu kawasan tersebut. Segala macam cara dilakukan oleh Andi Hasan sampai kasus tersebut di serahkan kepada pemerintah Kabupaten di meja hijau. Selama kasus tersebut dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten masyarakat selalu mengalami kekalahan. Namun selama itu masyarakat tetap bersikukuh untuk bertahan. Persoalan ini yang merupakan sumber konflik yang tidak pernah terselesaikan di Deda Pekaloa tersebut.
Adapun penyelesaian yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik yang terjadi sesuai dengan konflik di atas yaitu: Negosiasi antar pihak yang berkonflik karena tidak semua konflik lokal pihak yang berkonflik dapat terselesaikan secara lokal karena beberapa otoritas dan kewenangan berada ditataran pemerintah yang lebih tinggi. Selain itu juga, penggunaan mediator dalam penyelesaian konflik sangat diperlukan agar masyarakat nantinya tidak merasa terintimidasi dan curiga terhadap proses penyelesaian konflik yang terjadi pada masyarakat Dusun Matompi Tanah One. Matompi Tanah One. Berdasarkan kondisi sosial dan keadaan sumber daya alam tersebut maka pembentukan program KPH merupakan alternatif solusi yang perlu mendapat perhatian dalam penyelesaian konflik pemanfaatan kawasan hutan.
0 Response to "Resolusi Konflik Pemanfaatan Lahan Masyarakat Dalam Kawasan Hutan Di Kabupaten Luwu Timur"
Post a Comment